Ma’somba Tedong, Ma’pabendan Bate

Upacara Budaya Toraja dalam Rangka Pentahbisan Gereja Toraja Jemaat Kupang

Upacara Ma'somba Tedong. (Ist.)

oleh: Robert Kadang & Zet Tadung Allo


Pengantar Redaksi
Artikel tentang budaya nan sarat makna ini adalah, kolaborasi tulisan dari Zet Tadung Allo yang saat tulisan ini dibuat dan dipublikasikan beberfakta.web.id, menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Robert Kadang, Wartawan asal Toraja yang sudah malang melintang di beberapa redaksi media di Kota Kupang. 

BETA tidak bisa bayangkan, betapa ramainya acara Ma’somba Tedong dan Ma’pabendan Bate yang akan dihelat Jumat (30/5/2025). Balutan budaya Toraja nan sakral itu, akan menyedot perhatian banyak orang. Pun disaksikan ratusan bahkan ribuan pasang mata. Ma’somba Tedong dan Ma’pabendan Bate, digelar dalam rangka Pentahbisan Gereja Toraja Jemaat Kupang.

Undangan panitia yang dishare di grup-grup WhatsApp Sangtorayan menyebutkan, waktu pelaksanaan kegiatan akan dimulai pukul 07.00 Wita sampai selesai. Lokasinya di komplek Gereja Toraja Jemaat Kupang, di Jalan Taebenu, Kelurahan Liliba, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Untuk tidak melewatkan acara tersebut, beta bersama Zet Tadung Allo selaku ketua panitia, menggagas “Media Visit” menggelar “jumpa pers”. “Para jurnalis tolong diliput ya.., biar gaungnya lebih besar,” pinta Zet Tadung Allo. “Siap,” kata ku mengamini. “Acara syukuran dikemas dalam nuansa budaya Toraja dan NTT yang berpadu dalam suatu harmoni keindahan sebagai karunia Tuhan, dan selalu berlandaskan dan mengagungkan kebesaran dan kemuliaan Tuhan semata,” tambah Zet Tadung Allo yang saat ini menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Nusa Tenggara Timur.

Ma’pabendan Bate. (Ist.)

Lalu, apa itu Ma’somba Tedong, pun Ma’pabendan Bate..?
Bagi sebagian masyarakat Toraja yang ada di Nusa Tenggara Timur, kedua istilah itu tentu sudah dimengerti. Tapi, masih banyak pula yang belum familiar dengan istilah tersebut, termasuk beta. he he he harap maklum. Beta bisa mengulasnya, karena referensi dari kolega beta di grup “Forum Budaya Toraja”, komunitas dimana para pakar dan budayawan Toraja, jadi members. Dia adalah Pdt. Darma Padadi, M.Th., pendeta di Jemaat Tombangkalua’ Klasis Kesu’ La’bo’, Wilayah II Rantepao, Gereja Toraja.

Sebagai bahan pencerahan, berikut ini tulisan Pdt. Darma Padadi yang dikirim ke redaksi: Ma’somba Tedong dan Ma’pabendan Bate.

I. Ma’somba Tedong
Ma’somba Tedong dan Ma’pabendan Bate, keduanya dilakukan pada upacara Rambu Tuka’ tingkat tinggi, yaitu pada upacara disebut “alukna banua sangka’na papa dirassa, banua ditallung alloi diperokki” karena ada dua macam banua ditallung alloi, yaitu banua ditallung alloi biasa dan banua ditallung alloi merok. Ditallung alloi artinya, tiga hari ritual upacara yaitu, hari pertama Ma’tarampak, hari kedua Ma’tau buda atau Ma’papa, dan hari ketiga Ma’bubung.

Tetapi, sebelum dilaksanakan uapcara selama tiga hari tersebut, masih ada ritus pendahuluan, salah satu yang tidak boleh tidak ada, yaitu disebut “ma’karen-ren”, yaitu umpakande tomatua, atau todolo. Artinya, memberi sesajen kepada arwah nenek moyang dalam versi keyakinan Aluk Todolo. Dan, itu dilakukan pada sore hari di sebelah barat bagian selatan rumah. Tujuannya adalah memohon berkat dan restu dari arwah nenek moyang. Kegiatan selanjutnya adalah “sule mangkali oto’, tibalik mankali kundun, anna bangun ma’sossoran rengge, langan mangaku kumba’, mangore’ tanda tinaran. Artinya, kembali mengakui semua kesalahan yang pernah dilakukan selama proses pembangunan dilaksanakan, karena kadang tutur kata kita salah, perilaku kita salah, sehingga keluarga saling minta maaf.

Ditransformasi sekarang dalam iman Kristen bahwa kita perlu mengadakan ‘sensuramorum’, yaitu sebuah tradisi gereja terkait persiapan untuk mengikuti perjamuan, sensuramorum artinya memeriksa diri atau menguji diri, dari kesalahan.

Ma’tarampak” artinya mulai memasang yang namanya “anak papa”, itulah yang disebut Ma’tarampak, yaitu tahap ketiga terakhir, pembangunan rumah Toraja. (dibawa dalam simbol ritus Ma’tarampak dalam Aluk Todolo Ma’pesung/Ma’pakende deata, dengan korban ayam betina disebut “manuk rame matasaka”). Ini adalah ayam yang paling enak dagingnya.

Ditransformasi dalam ke-kristenan adalah pembukaan, di dalamnya kita bersyukur selesainya bangunan rumah, dan kita berdoa semoga seluruh rangkaian upacara diberkati Allah Tritungal, agar berjalan dengan baik.

Ma’ tau buda atau Ma’papa, artinya pemasangan atap yang dikerjakan secara gotong-royong, yaitu tahap kedua terakhir dari pembangunan rumah Toraja. (dibawa dalam simbol ritus Aluk Todolo Ma’ tau buda atau Ma’papa, dengan mengorbankan satu ekor ayam jantan yang disebut Londong Sella’ mabusa baba’na). Korban ayam ini dimaksudkan “dipake untundan tomamma’ Puang Matua, urruyang tomatindo to kaubanan” sebab Tuhan yang dipercaya Aluk Todolo sesudah mencipta Tuhan yang sedang istirahat dalam kemuliaannya. Dalam bahasa Toraja, Puang Matua bassi-bassian, Puang ambo-amboan, mamma’ lan kulambu manikna matindo lan sane’ kandaurena. Artinya, Tuhan yang sedang tidur dalam kemuliaan, karena itu dibangunkan dengan diberikan sesajen dari ayam jantan londong sella’, dan ini ayam yang paling enak dagingnya dari semua jenis ayam.

Ditransformasi dalam kekristenan bahwa, marilah kita mempersembahkan yang terbaik bagi Tuhan, (Allah Tritunggal) yang kita percaya.

Pada malam sebelum hari-H, yaitu Ma’tau buda, atau Ma’papa, ada juga menyebut Matanna. Malam itu diadakan yang namanya Ma’somba Tedong. Ma’somba Tedong diadakan semalam suntuk. Ma’somba Tedong dimaksudkan sebagai doa, yaitu doa yang mempunyai beberapa sisi seperti:

1. “Ungkapan Syukur”. Satu kerbau ini menjadi simbol kebersamaan dan persatuan rumpun keluarga, bersama-sama bersyukur atas ciptaan Tuhan berupa kerbau. Sehingga, dalam doa itu dirundunan bulo tu nenekna tedong tempon tipamulanna, tonna dadi lan mai sauna sibarrung, dikombong lanmai tandasan sikore-kore. Dadimi to sanda karua toganna’ bilanganna nene’na tedong disanga Manturino, artinya dalam ritual Ma’ssomba Tedong dinaikkan doa syukur atas ciptaan Tuhan. Salah satunya adalah kerbau yang konon katanya diciptakan di langit dari alat penempahan besi tradisionil, disebut sauan sibarrung, ada delapan mahluk yang lahir, salah satunya adalah leluhur kerbau disebut Manturino.

Ditransformasi dalam iman Kristen, bahwa kita bersyukur atas kehidupan kita dan seluruh ciptaan Tuhan. Semuanya itu adalah berkat Tuhan semata.

2. “Permohonan Pengampunan”. Dalam ritual Ma’ssomba Tedong dimaksudkan sebagai doa memohon pengampunan atas segala kesalahan keluarga, jika ada kesalahan. Permohonan pengampunan ini dimaksudkan sebagai bagian kerinduan akan kehidupan yang penuh damai sejahtera. Oleh karena itu, dalam Ma’somba Tedong semalam suntuk dianggap sangat berhasil ketika pada tengah malam sampai dini hari, kerbau tersebut meneteskan air matanya “Tumangi’ tu tedong”. Artinya, kerbau menangis. Ketika kerbau menangis, maka itu dianggap berhasil, dan doa-doa keluarga sungguh didengarkan. Dan keluarga akan merasa puas dan lega.

Ditransformasi dalam iman Kristen, bahwa bukan lagi korban hewan seperti kerbau yang akan membawa pengampunan dosa, tetapi korban Anak Domba Allah itulah yang akan membawa pengampunan lewat tubuh dan darahnya. Kerbau ini lebih diarahkan kepada simbol kesatuan dan kebersamaan.

3. “Permohonan Berkat”. Seluruh keluarga menyatakan persekutuannya, dan persatuanya dalam satu persembahan berupa satu ekor kerbau yang sempurna, dan bermakna permohonan berkat. Karena setiap bagian dari kerbau itu, adalah sebuah berkat seperti:

    • Kerbau yang dikorbankan adalah kerbau pudu’, Artinya, kerbau hitam, bahwa sejatinya kerbau yang sempurna adalah kerbau hitam “pudu’ ganna’ palisunna karua tanda-tandana”. Yang artinya kerbau yang sempurna.
    • Kerbau yang tanduknya limbong pala’ atau sangkumabe’. Limbong pala’ yaitu ukuran tanduk yang kurang dari sangkumabe’. Limbong pala’ artinya tanda sampai di tengah telapak tangan. Diharapkan berkat akan selalu ada di tengah telapak tangan.
      Sangkumabe’ artinya seluruh rumpun keluarga selalu mengait datangnya berkat. Sangkumabe’ artinya ukuran tanduk yang kalau kita lipat jari tangan kita sampai disitu, yaitu masih di area telapak tangan. Sangkumabe’ dari kata dasar kabe’ yang artinya kait, atau mengait.
    • “Perendenmu tedong susi riti”. Artinya, tali kerbau bagaikan ikatan segenap keluarga.
    • “Kale’ke’mu pontolola’, ponto lola’na to ma’rapu. Artinya, tali melingkar yang dipasang di hidung kerbau bagaikan gelang emasnya keluarga.
    • “Tanduk mu suke bulawan” suke bulawanna to ma’rapu tallang. Artinya, tanduk kerbau bagaikan sebuah tempat penyimpanan atau benda berharga yang terbuat dari emas.
    • “Matammu, mata koton bulawan” bilawanna to ma’rapu tallang. Artinya, mata kerbau bagaikan kepingan emas dari rumpun keluarga.
    • “Talingam mu ma’raeng doti”, dotinnna to ma’rapu tallang. Artinya telinga kerbau bagaikan sebuah kain berharga dari rumpun keluarga.
    • “Illong mu ma’gello patoko” patokona to ma’rapu tallang. Artinya, hidung kerbau bagaikan barang simpanan keluarga.
    • “ Lila mu susi gayang tiluang” gayangna to ma’rapu tallang. Artinya, lidah kerbau bagaikan gayang dari semua rumpun keluarga.
    • “Kalungkung mu sora pindan” sora pindanna to ma’rapu tallang. Artinya, kuku kerbau bagaikan makok emasnya keluarga.
    • “Kasube mu pantu’tukan bulawan, pantu’tukan bulawanna toma’rapu tallang”. Artinya, mulut kerbau bagaikan lesung emasnya keluarga.
    • “Guntu’mu ma’eran alang, eran alangna to ma’rapu tallang. Artinya, lutut kerbau bagaikan tangga naik di lumbung dari rumpun keluarga.
    • “Bulum mu darun bulawan, darun bulawanna to ma’rapu tallang. Artinya, bulu kerbau bangaikan jarum emasnya rumpun keluarga.
    • “Balulang mu lotong boko’, lotong boko’na to ma’rapu tallang. Artinya, kulit kerbau bagaikan perlindingan rumpun keluarga.
    • “Palisummu kapu’ baka, kapu’ bakana toma’rapu tallang. Artinya, pusaran rambut kerbau bagiakan tali pengikat tutup bakul.
    • “Ikko’mu tekken bulawan, tekken bulawanna to ma’rapu tallang. Artinya, ekor kerbau bagaikan tongkat emasnya keluarga.
    • “Ate mu susi pamuntu, lana popamuntu tang ti’pek to ma’rapu tallang. Artinya, hati kerbau bagaikan lingkaran wajan keluarga.
    • “Rara mu susi kaseda, kasedana to ma’rapu tallang. Artinya, darah kerbau bagaikan kain berwarna merah dari keluarga.
    • “Penaammu kalimbuang boba, kalimbuang bobana to ma’rapu tallang. Artinya, nafas kerbau bagaikan mata air keluarga.
    • “Bua mu ma’rupa doti, ditinna to ma’rapu tallang. Artinya, jantung kerbau bagaikan barang berharga dari keluaraga.
    • “Sumbung sarita taim mu, saritanna to ma’rapu tallang. Artinya, kotoran kerbau yang jatuh sambung-menyambung bagaikan sebuah kain pusaka dari rumpun keluarga.

Ditransformasi dalam iman Kristen, bahwa sesungguhnya persembahan kita seharusnya sebuah persembahan yang sempurna dan tak bercacat. Namun kesempurnaan dari persembahan kita sesungguhnya ada di hati kita, yaitu pada mata iman kita.

Ma’bubung artinya, pemasangan bagian terakhir dari atap rumah yang disebut bubung. Tahap terakhir dari pembangunan rumah Toraja. Disimbolkan dalam ritus Aluk Todolo dengan membawa api di atas kap rumah, atau bubungan rumah, disebut Ma’rubak api dimaksudkan sebangai penolak bala, dan rumah akan terlindungi dari berbagai malapetaka, dan juga menjadi simbol yang bermakna “tang pa’de apinna to ma’rapu tallang, tang ro’to’ merruayanna toma’kaponan ao’” yang artinya, keluarga selalu sehat walafiat menjalani hidup penuh berkat di hari-hari yang akan datang.

II. Ma’pabendan Bate
Ma’pabendan Bate dalam aluk Rambu Tuka’ merupakan pasangan dari Ma’pabendan Sara’ka’ dalam aluk Rambu Solo’. Bate secara etimologi artinya panji, yaitu mendirikan panji. Panji adalah lambang kemenangan atau keberhasilan dalam meraih sebuah prestasi. Bate itu berupa kain atau panji yang dihiasi dengan benda-benda pusaka, seperti la’bo’ todolo atau la’bo’ pinai.

Bate didirikan pada upacara Rambu Tuka’ tingkat tinggi, yaitu upacara pada “banua ditallung alloi diperokki”, atau dengan kata lain Merok. Penggunaan sarana upacara berupa bate, dan kerbau itu merupakan satu paket. Artinya, tidak boleh ada bate kalau tidak ada kerbau. Bate dipasang di sebelah timur, adalah lambang kehidupan sejahtera, yang disebut diteka’ sumpu lolokna yang artinya, membangun rumah dan keluarga secara maksimal.

Ada yang mengartikan pendirian bate, bermakna pendirian eran di langi’, tetapi itu adalah pemaknaan secara transformasi sekarang ini. Karena simbol bermakna erang di langi’, sesungguhnya adalah pendirian batu dan pohon cendana di bagian utara rumah Toraja, saat upacara Rambu Tuka’ atau Mangrara.

Ditransformasi sekarang sebagai sebuah simbol penyembahan kepada Allah yang transenden, dan dibuat dalam tiga tahapan melambangkan dua sisi yaitu: sisi pertama adanya persembahan ‘tallu lolona’ dan sisi yang kedua bermakna penyembahan kepada Allah Tritunggal. Simbol eran di langi’ yang ditemukan di dalam Yesus Kristus, bahwa Yesus kristus itulah eran di langi’ yang sesungguhnya menghubungkan manusia dengan Allah. (* / Vip)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *